Rabu, 17 Juli 2013

Blue Economy

          Sesungguhnya, ini adalah tulisan gw yang paling absurd, pas baru pertama belajar nulis, berusaha mengumpulkan 2000 kata dalam waktu 2 hari. Dan seperti inilah jadinya...


Limbah Propagul Mangrove Sebagai Bahan Pewarna Alami Batik Sesuai Dengan Konsep Ekonomi Biru Untuk Kesejahteraan Wilayah Segitiga Terumbu Karang

 “Sekitar 50 mahasiswa Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Pekalongan, Jawa Tengah, berunjuk rasa di kawasan Panjang Wetan, Kota Pekalongan, yang berjarak sekitar 1,5 kilometer dari kampus mereka. Mereka menuntut agar Pemerintah Kota Pekalongan memberikan perhatian terhadap pengelolaan limbah batik di wilayah itu”. Kurang lebih seperti itulah fakta yang dibeberkan oleh media online Kompas.com edisi Senin, 3 Maret 2011. Sangat kontras dengan yang dibeberkan sebelumnya oleh media VIVAlog yang berisi “Sekarang setiap orang merasa bangga memakai batik, semua usia tidak hanya yang tua tetapi juga yang muda. Batik memang sudah ada sejak lama di Indonesia, tetapi menjadi bertambah populer ketika United Nations Educational, Scientific, and Culture Organization (UNESCO) memberikan pengakuan dan mengesahkan secara resmi Batik Indonesia sebagai warisan budaya dunia (World Heritage) pada tanggal 2 Oktober 2009 dan tanggal tersebut dijadikan sebagai Hari Batik”.

Apa yang ada di benak Anda setelah membaca kutipan dua media online diatas?

Ya, tentu saja ini menjadi masalah kita bersama terutama bagi bangsa Indonesia yang memproklamirkan batik sebagai negara asalnya. Namun tak dapat dipungkiri pula bahwa hal ini bisa menjadi masalah yang mendunia terlebih setelah diresmikannya batik sebagai warisan dunia asli Indonesia yang kepopulerannya semakin diminati warga seantero dunia.

Kain  yang memiliki ragam hias atau corak yang dibuat dengan canting dan cap ini diakui UNESCO sebagai salah satu warisan budaya dunia karena batik Indonesia memiliki motif yang beragam dan memiliki makna filosofi yang mendalam. Selain itu penghargaan oleh UNESCO menjadikan batik Indonesia sebagai warisan budaya dunia itu juga didasarkan karena pemerintah dan rakyat Indonesia dinilai telah melakukan berbagai langkah nyata untuk melindungi dan melestarikan warisan budaya itu secara turun-temurun.

Sejarah perkembangan batik sendiri di Indonesia bermula semenjak zaman kejayaan Majapahit dan menjadi sangat populer akhir abad XVIII atau awal abad XIX. Batik sebenarnya adalah salah satu cara pembuatan bahan pakaian. Selain itu batik bisa mengacu pada dua hal. Yang pertama adalah teknik pewarnaan kain dengan menggunakan malam untuk mencegah pewarnaan sebagian dari kain. Pengertian kedua adalah kain atau busana yang dibuat dengan teknik tersebut, termasuk penggunaan motif-motif tertentu yang memiliki kekhasan.

Pada awal mulanya, bahan-bahan pewarna yang digunakan untuk mewarnai batik terdiri daripada tumbuh-tumbuhan asli Indonesia yang dibuat sendiri antara lain; pohon mengkudu, tinggi, soga, nila, dan bahan sodanya dibuat daripada soda abu, serta garamnya dibuat dari tanah lumpur.

Namun pewarna itulah yang sebenarnya menjadi polemik atau permasalahan dimana kini pewarna alami sudah mulai jarang digunakan akibat menipisnya ketersediaan sumber pewarna di alam dan meningkatnya permintaan pasar sehingga mau tidak mau mulai menggeser sendi-sendi budaya yang mengakibatkan beralihnya penggunaan pewarna alami ke pewarna kimiawi/sintetis yang dianggap memiliki beberapa keuntungan diantaranya yaitu mudah didapat dan warna yang dihasilkan lebih beragam.

Air bekas pewarnaan atau air yang digunakan untuk mencuci batik dapat mengakibatkan pencemaran, terlebih dalam pencucian karena dalam proses tersebut diperlukan air sebagai medium dalam jumlah yang besar. Proses ini menimbukan air buangan yang besar pula, dimana mengandung sisa-sisa warna, BOD tinggi, kadar minyak tinggi dan beracun.

Sebagai salah satu contohnya yaitu yang terjadi di Pekalongan yang terkenal dengan Kota Batik-nya, buangan dari limbah pewarna batik sebagian besar berasal dari industri rumah tangga. Bahkan, sebagian industri rumahan membuang limbah ke sungai tanpa ada pengolahan terlebih dahulu. Hal tersebut menyebaban air sungai menjadi kotor dan tercemar.

Efek negatif pewarna kimiawi dalam proses pewarnaan oleh perajin batik adalah resiko terkena kanker kulit. Hal tersebut terjadi karena saat proses pewarnaan, umumnya para perajin tidak menggunakan sarung tangan sebagai pengaman, kalaupun memakai, tidak benar-benar terlindung secara maksimal. Akibatnya, kulit tangan terus-menerus bersinggungan dengan pewarna kimia berbahaya seperti Naptol yang lazim digunakan dalam industri batik. Bahan kimia yang termasuk dalam kategori B3 (Bahan Beracun Berbahaya) ini dapat memacu kanker kulit.

Selain itu, limbah pewarna yang dibuang sembarangan, juga bisa mencemari lingkungan. Ekosistem sungai rusak. Akibatnya, ikan-ikan mati dan air sungai tidak dapat dimanfaatkan lagi. Lebih dari itu, air sungai yang telah tercemar meresap ke sumur dan mencemari sumur. Padahal air itulah yang digunakan untuk keperluan hidup sehari-hari.

Keadaan semacam ini telah dialami oleh banyak warga, terutama di sentra industri batik. Masyarakat di sekitar Kali Banger misalnya, telah lama mengeluhkan akibat pencemaran limbah batik ini. Kali Banger, sungai yang membelah Pekalongan bagian timur dari selatan ke utara ini, mengalirkan limbah batik dari pabrik-pabrik industri batik besar maupun kecil yang membuang limbahnya ke sungai.

Mau tidak mau fenomena tersebut membawa dampak negatif terhadap sungai di lingkungan kota Pekalongan yang dalam skala luas bisa mencemari lautan karena posisi Pekalongan yang langsung berhadapan dengan Pantai Utara Jawa. Hingga ada suatu media lokal yang mengatakan bahwa akibat pencemaran limbah batik menjadikan kota ini sebagai kota paling tercemar se-Jawa Tengah.

Untuk pewarna alam sendiri, kini dunia kelautan pun sudah menemukan solusinya yaitu Batik Mangrove. Perkembangan batik mangrove sendiri di Indonesia sudah mulai berkembang sejak tahun 2007 oleh seorang perajin batik mangrove asal Surabaya. Namun kini ternyata batik mangrove sudah semakin meluas sehingga penggunaannya tidak hanya di daerah Surabaya saja.

Berbicara tentang mangrove, Spalding dkk, 1997 dalam Noor dkk, 1999 menuliskan bahwa mangrove merupakan sekumpulan pepohonan atau tanaman yang hidup di sekitar daerah tropis dan sub tropis serta hidupnya dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Luas hutan mangrove di  Indonesia sendiri antara 2,5 hingga 4,5 juta hektar, merupakan mangrove yang terluas di dunia. Melebihi Brazil (1,3 juta ha), Nigeria (1,1 juta ha) dan Australia (0,97 ha).

Sejauh ini di Indonesia tercatat ada 202 jenis tumbuhan mangrove, meliputi 89 jenis pohon, 5 jenis palma, 19 jenis liana, 44 jenis herba tanah, 44 jenis epifit dan 1 jenis paku (Kusmana, 1993).  Dari 202 jenis tersebut, 43 jenis merupakan jenis mangrove sejati (true mangrove) dan selebihnya merupakan jenis mangrove asosiasi (associate mangrove). 

Diantara sekian banyak jenis mangrove, mangrove memiliki berbagai macam fungsi diantaranya yaitu fungsi fisik, biologis, dan kimiawi. Dari segi konsumtif pun mangrove memiliki beberapa manfaat seperti dijadikan sirup, tepung, permen, kerupuk, dan kue. Namun selain hal tersebut di atas, komponen mangrove juga bisa digunakan sebagai pewarna alami batik. Seperti pada beberapa jenis mangrove khususnya Famili Rhizophoraceae dimana propagul dan kulit batangnya memiliki kandungan Tanin dan Lignin dalam jumlah banyak sehingga jika diproses dengan cara tertentu bisa mengeluarkan pigmen-pigmen warna tertentu.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Tanin diartikan sebagai kumpulan senyawa organik amorf yg bersifat asam dengan rasa sepat, ditemukan dalam banyak tumbuhan, digunakan sebagai bahan penyamak, bahan pembuat tinta, dan bahan pewarna. Dan Lignin adalah bahan polimer tidak berbentuk yang bersama-sama dijumpai di antara sel dan dinding sel tumbuhan, berfungsi sebagai pembentuk kayu. Ketika kayu mangrove terkenal sebagai sumber tanin pada industri kulit kayu. Kulit kayu pada batang pohon mangrove mengandung tanin sebanyak 20-30% dari berat kering (Damanik et al, 1987).

Dalam penggunaan mangrove sebagai pewarna alami sendiri digunakan bagian komponen mangrovenya yaitu propagul. Propagul merupakan buah mangrove yang telah mengalami perkecambahan dan termasuk ke dalam tipe buah mangrove Vivipari, yaitu biji yang telah berkecambah ketika masih melekat pada pohon induknya dan kecambah telah keluar dari buah, seperti yang terjadi pada Famili Rhizophoraceae. Warna yang dapat dihasilkan dari propagul Rhizophora ini adalah coklat.

Dalam proses pewarnaan batik mangrove kurang lebih sama dengan proses pewarnaan batik pada umumnya, yaitu :

Langkah pertama yaitu propagul dijemur di bawah terik sinar matahari selama kurang lebih seminggu untuk mendapatkan bahan pewarna yang kering. Selanjutnya, propagul tersebut direbus selama kurang lebih 4 jam di dalam air mendidih dengan komposisi kurang lebih 2 kg propagul dan buah dalam 4 liter air. Hal tersebut dilakukan agar pigmen-pigmen warna yang terkandung dalam propagul bisa keluar dengan maksimal. Setelah air rebusan berubah warna maka selanjutnya bisa dilakukan penyaringan dan air rebusan bisa langsung dituang ke dalam tempat pencelupan warna. Tunggu hingga air rebusan tersebut dingin, baru kain yang telah diberi motif oleh malam dicelupkan secara perlahan-lahan ke tempat pencelupan warna. Pengulangan pencelupan bisa bervariasi tergantung dengan kecerahan warna yang diinginkan. Selanjutnya bisa dilakukan fiksasi warna dan plorotan untuk selanjutnya dijemur sebagai langkah terakhir.


Dalam penggunaan mangrove sebagai pewarna alam batik memiliki beberapa keunggulan dan kelebihan dibanding dengan pewarna kimiawi/sintetik, diantaranya:

Poin pertama yaitu lebih ramah lingkungan karena limbah yang dihasilkan tidak akan merusak lingkungan darat maupun lingkungan laut. Sehingga dalam proses penguraiannyapun akan lebih mudah. Jumlah zat pencemaran yang terdapat di dalam air limbah akan mempengaruhi kadar oksigen yang terlarut di dalam air limbah. Dengan demikian akan mempengaruhi kehidupan di dalam air yang membutuhkan oksigen. Sehingga dengan digunakannya pewarna alami batik ini tetap menjaga kelestarian ekosistem.

Poin kedua yaitu, Zero Cost. Propagul yang digunakan didapat langsung dari alam dengan mengambil propagul yang sudah jatuh. Sehingga untuk mendapatkan bahannya tidak dibutuhkan biaya sama sekali karena prinsip yang digunakan adalah mendaur ulang “limbah” organik.

Poin ketiga yaitu aman bagi tubuh karena tidak menimbulkan gatal-gatal serta bercak di tangan pada saat proses pencelupan warna.

Poin keempat yaitu perkembangan sumberdaya manusia terutama masyarakat pesisir/nelayan yang terbukti mampu menggerakkan roda perekonomian masyarakat sehingga mandiri dan sejahtera. Hal ini terbukti dari beberapa pengrajin batik mangrove yang ada di Indonesia, seperti Surabaya dan Semarang.

Poin kelima yaitu mampu dijadikan sektor industri/bisnis yang sesuai dengan konsep Blue Economy dimana manfaatnya bisa langsung dirasakan oleh masyarakat.

Dan poin terakhir sekaligus yang menjadi poin terpenting adalah pewarna batik mangrove mampu menghasilkan warna yang berkualitas tinggi dengan warna yang indah dan tidak mudah luntur. Selain itu, batik dengan pewarna alami dibuat secara spesifik atau bersifat khusus sehingga bisa lebih eksklusif.

            Setelah mengetahui poin-poin penting diatas, lalu apa yang dapat kita lakukan untuk menjaga ekosistem mangrove? Tentu saja dengan tetap menjaga dan melestarikan keberlangsungan ekosistem mangrove dengan cara penanaman dan penyulaman mangrove. Hal tersebut dilakukan utuk menjaga keberlangsungan sumberdaya alam yang terbatas.

            Tidak hanya itu, ekosistem mangrove pun memiliki kaitan dengan ekosistem lainnya seperti lamun dan terumbu karang. Mangrove, lamun, dan terumbu karang merupakan tiga komponen penting penyusun ekosistem pesisir. Menurut Kaswadji (2001), tidak selalu ketiga ekosistem tersebut dijumpai, namun demikian apabila ketiganya dijumpai maka terdapat keterkaitan antara ketiganya. Dimana setiap ekosistem mempunyai fungsi masing-masing.

            Ekosistem mangrove merupakan penghasil detritus, unsur hara dan bahan organik yang dibawa ke ekosistem padang lamun oleh arus laut. Sedangkan ekosistem lamun berfungsi sebagai penghasil bahan organik dan unsur hara yang akan dibawa ke ekosistem terumbu karang. Selain itu, ekosistem lamun juga berfungsi sebagai penjebak sedimen (sedimen trap) sehingga sedimen tersebut tidak mengganggu kehidupan terumbu karang. Selanjutnya ekosistem terumbu karang dapat berfungsi sebagai pelindung pantai dari hempasan ombak (gelombang) dan arus laut. Ekosistem mangrove juga berperan sebagai habitat (tempat tinggal), tempat mencari makan (feeding ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground), tempat pemijahan (spawning ground) bagi organisme yang hidup di padang lamun ataupun terumbu karang. Disamping hal-hal tersebut di atas, ketiga ekosistem tersebut juga menjadi tempat migrasi organisme-organisme perairan, dari hutan mangrove ke padang lamun kemudian ke terumbu karang atau sebaliknya (Kaswadji, 2001).

            Hutan mangrove dan padang lamun sangat berperan dalam perkembangan biota. Diketahui bahwa ekosistem terumbu karang dihuni oleh  lebih dari 93.000 spesies, bahkan diperkirakan lebih dari satu juta spesies mendiami ekosistem ini. Ekosistem terumbu karang yang sangat kaya akan plasma nutfah ini, kendati tampak sangat kokoh dan kuat, namun ternyata sangat rentan terhadap perubahan lingkungan.

            Ekosistem terumbu karang sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan laut seperti tingkat kejernihan air, arus, salinitas dan suhu. Tingkat kejernihan air dipengaruhi oleh partikel tersuspensi antara lain akibat dari pelumpuran dan ini akan berpengaruh terhadap jumlah cahaya yang masuk ke dalam laut, sementara cahaya sangat diperlukan oleh zooxanthella yang fotosintetik dan hidup di dalam jaringan tubuh binatang  pembentuk terumbu karang.

Di samping peranannya yang penting, ekosistem terumbu karang  Indonesia dipercaya sedang mengalami tekanan berat dari kegiatan penangkapan ikan dengan mempergunakan racun dan bahan peledak. Selain itu penangkapan berlebihan sedimentasi dan pencemaran juga merupakan ancaman yang tak kalah beratnya.

Melihat definisi diatas maka mau tidak mau pewarna yang digunakan dalam membatik pun turut berperan dalam kelestarian dan kesehatan laut khususnya terumbu karang. Terlebih diantara enam negara yang menjadi bagian dari pusat penyelamatan terumbu karang dunia atau Coral Triangle Initiative, Indonesia adalah negara yang memiliki keanekaragaman dan luasan tertinggi.

Dengan menjaga salah satu ekosistem laut tersebut berarti kita juga telah menjaga ekosistem laut lainnya. Dan inilah salah satu cara yang bisa dilakukan untuk mengkonservasi tumbuhan mangrove sekaligus menambah nilai positif dari mangrove itu sendiri. 

Gw inget banget nih, yang menangin kompetisi ini adalah seorang mahasiswi dari University of Phillipines, jadi lomba ini ya ga untuk mahasiswa Indonesia saja, tapi bagi negara-negara yang tergabung dalam negara segitiga karang dunia, termasuk Filipin diantaranya.
Tapi gw bangga sih bisa ikut berpartisipasi meskipun ga menang, ya setidaknya gw sudah mencoba untuk berkontribusi dan memberikan solusi gitu buat mendukung konsep Blue Economy, hohoho #pembelaan :p
Naaah, terus gw dapet ini deeeeh

        Jadi sebenarnya kompetisi ini mengharuskan gw untuk mengirim essay dalam Bahasa Inggris, jadi berusahalah gw untuk mentranslatenya, dan hasilnya masih gw rahasiakan. Hanya panitia acara dan Tuhan yang tau, huehehe :p
Tapi terima kasih yaaa, semoga ini semakin memotivasi gw untuk belajar menulis lebih baik dan lebih baik lagi. Cheers! :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar