Sesungguhnya, ini adalah tulisan gw yang paling absurd, pas baru pertama belajar nulis, berusaha mengumpulkan 2000 kata dalam waktu 2 hari. Dan seperti inilah jadinya...
Limbah
Propagul Mangrove Sebagai Bahan Pewarna Alami Batik Sesuai Dengan Konsep
Ekonomi Biru Untuk Kesejahteraan Wilayah Segitiga Terumbu Karang
“Sekitar 50 mahasiswa Sekolah Tinggi Agama
Islam Negeri Pekalongan, Jawa Tengah, berunjuk rasa di kawasan Panjang Wetan,
Kota Pekalongan, yang berjarak sekitar 1,5 kilometer dari kampus mereka. Mereka
menuntut agar Pemerintah Kota Pekalongan memberikan perhatian terhadap pengelolaan
limbah batik di wilayah itu”. Kurang lebih seperti itulah fakta yang dibeberkan
oleh media online Kompas.com edisi Senin, 3 Maret 2011. Sangat kontras dengan
yang dibeberkan sebelumnya oleh media VIVAlog yang berisi “Sekarang setiap
orang merasa bangga memakai batik, semua usia tidak hanya yang tua tetapi juga
yang muda. Batik memang sudah ada sejak lama di Indonesia, tetapi menjadi
bertambah populer ketika United Nations Educational, Scientific, and
Culture Organization (UNESCO) memberikan pengakuan dan mengesahkan secara
resmi Batik Indonesia sebagai warisan budaya dunia (World Heritage)
pada tanggal 2 Oktober 2009 dan tanggal tersebut dijadikan sebagai Hari Batik”.
Apa
yang ada di benak Anda setelah membaca kutipan dua media online diatas?
Ya,
tentu saja ini menjadi masalah kita bersama terutama bagi bangsa Indonesia yang
memproklamirkan batik sebagai negara asalnya. Namun tak dapat dipungkiri pula
bahwa hal ini bisa menjadi masalah yang mendunia terlebih setelah diresmikannya
batik sebagai warisan dunia asli Indonesia yang kepopulerannya semakin diminati
warga seantero dunia.
Kain
yang memiliki ragam hias atau corak yang dibuat dengan canting dan cap
ini diakui UNESCO sebagai salah satu warisan budaya dunia karena batik Indonesia
memiliki motif yang beragam dan memiliki makna filosofi yang mendalam. Selain
itu penghargaan oleh UNESCO menjadikan batik Indonesia
sebagai warisan budaya dunia itu juga didasarkan karena pemerintah dan rakyat
Indonesia dinilai telah melakukan berbagai langkah nyata untuk melindungi dan
melestarikan warisan budaya itu secara turun-temurun.
Sejarah
perkembangan batik sendiri di Indonesia bermula semenjak zaman kejayaan Majapahit
dan menjadi sangat populer akhir abad XVIII atau awal abad XIX. Batik
sebenarnya adalah salah satu cara pembuatan bahan pakaian. Selain itu batik
bisa mengacu pada dua hal. Yang pertama adalah teknik pewarnaan kain dengan
menggunakan malam untuk mencegah pewarnaan sebagian dari kain. Pengertian kedua
adalah kain atau busana yang dibuat dengan teknik tersebut, termasuk penggunaan
motif-motif tertentu yang memiliki kekhasan.
Pada
awal mulanya, bahan-bahan pewarna yang digunakan untuk mewarnai batik terdiri
daripada tumbuh-tumbuhan asli Indonesia yang dibuat sendiri antara lain; pohon
mengkudu, tinggi, soga, nila, dan bahan sodanya dibuat daripada soda abu, serta
garamnya dibuat dari tanah lumpur.
Namun
pewarna itulah yang sebenarnya menjadi polemik atau permasalahan dimana kini
pewarna alami sudah mulai jarang digunakan akibat menipisnya ketersediaan
sumber pewarna di alam dan meningkatnya permintaan pasar sehingga mau tidak mau
mulai menggeser sendi-sendi budaya yang mengakibatkan beralihnya penggunaan
pewarna alami ke pewarna kimiawi/sintetis yang dianggap memiliki beberapa
keuntungan diantaranya yaitu mudah didapat dan warna yang dihasilkan lebih
beragam.
Air
bekas pewarnaan atau air yang digunakan untuk mencuci batik dapat mengakibatkan
pencemaran, terlebih dalam pencucian karena dalam proses tersebut diperlukan
air sebagai medium dalam jumlah yang besar. Proses ini menimbukan air buangan
yang besar pula, dimana mengandung sisa-sisa warna, BOD tinggi, kadar minyak
tinggi dan beracun.
Sebagai
salah satu contohnya yaitu yang terjadi di Pekalongan yang terkenal dengan Kota
Batik-nya, buangan dari limbah pewarna batik sebagian besar berasal dari
industri rumah tangga. Bahkan, sebagian industri rumahan membuang limbah ke
sungai tanpa ada pengolahan terlebih dahulu. Hal tersebut menyebaban air sungai
menjadi kotor dan tercemar.
Efek
negatif pewarna kimiawi dalam proses pewarnaan oleh perajin batik adalah resiko
terkena kanker kulit. Hal tersebut terjadi karena saat proses pewarnaan,
umumnya para perajin tidak menggunakan sarung tangan sebagai pengaman, kalaupun
memakai, tidak benar-benar terlindung secara maksimal. Akibatnya, kulit tangan
terus-menerus bersinggungan dengan pewarna kimia berbahaya seperti Naptol yang
lazim digunakan dalam industri batik. Bahan kimia yang termasuk dalam kategori
B3 (Bahan Beracun Berbahaya) ini dapat memacu kanker kulit.
Selain
itu, limbah pewarna yang dibuang sembarangan, juga bisa mencemari lingkungan.
Ekosistem sungai rusak. Akibatnya, ikan-ikan mati dan air sungai tidak dapat
dimanfaatkan lagi. Lebih dari itu, air sungai yang telah tercemar meresap ke
sumur dan mencemari sumur. Padahal air itulah yang digunakan untuk keperluan
hidup sehari-hari.
Keadaan
semacam ini telah dialami oleh banyak warga, terutama di sentra industri batik.
Masyarakat di sekitar Kali Banger misalnya, telah lama mengeluhkan akibat
pencemaran limbah batik ini. Kali Banger, sungai yang membelah Pekalongan
bagian timur dari selatan ke utara ini, mengalirkan limbah batik dari
pabrik-pabrik industri batik besar maupun kecil yang membuang limbahnya ke
sungai.
Mau
tidak mau fenomena tersebut membawa dampak negatif terhadap sungai di
lingkungan kota Pekalongan yang dalam skala luas bisa mencemari lautan karena
posisi Pekalongan yang langsung berhadapan dengan Pantai Utara Jawa. Hingga ada
suatu media lokal yang mengatakan bahwa akibat pencemaran limbah batik
menjadikan kota ini sebagai kota paling tercemar se-Jawa Tengah.
Untuk
pewarna alam sendiri, kini dunia kelautan pun sudah menemukan solusinya yaitu
Batik Mangrove. Perkembangan batik mangrove sendiri di Indonesia sudah mulai
berkembang sejak tahun 2007 oleh seorang perajin batik mangrove asal Surabaya.
Namun kini ternyata batik mangrove sudah semakin meluas sehingga penggunaannya
tidak hanya di daerah Surabaya saja.
Berbicara
tentang mangrove, Spalding dkk, 1997 dalam Noor dkk, 1999 menuliskan
bahwa mangrove merupakan sekumpulan pepohonan atau tanaman yang hidup di
sekitar daerah tropis dan sub tropis serta hidupnya dipengaruhi oleh pasang
surut air laut. Luas hutan mangrove di Indonesia
sendiri antara 2,5 hingga 4,5 juta hektar, merupakan mangrove yang terluas di dunia. Melebihi
Brazil (1,3 juta ha), Nigeria (1,1 juta ha) dan Australia (0,97 ha).
Sejauh ini di Indonesia tercatat ada 202 jenis tumbuhan
mangrove, meliputi 89 jenis pohon, 5 jenis palma, 19 jenis liana, 44 jenis
herba tanah, 44 jenis epifit dan 1 jenis paku (Kusmana, 1993). Dari 202 jenis tersebut, 43 jenis merupakan jenis
mangrove sejati (true mangrove) dan
selebihnya merupakan jenis mangrove asosiasi (associate mangrove).
Diantara
sekian banyak jenis mangrove, mangrove memiliki berbagai macam fungsi
diantaranya yaitu fungsi fisik, biologis, dan kimiawi. Dari segi konsumtif pun mangrove
memiliki beberapa manfaat seperti dijadikan sirup, tepung, permen, kerupuk, dan
kue. Namun selain hal tersebut di atas, komponen mangrove juga bisa digunakan
sebagai pewarna alami batik. Seperti pada beberapa jenis mangrove khususnya
Famili Rhizophoraceae dimana propagul
dan kulit batangnya memiliki kandungan Tanin dan Lignin dalam jumlah banyak
sehingga jika diproses dengan cara tertentu bisa mengeluarkan pigmen-pigmen
warna tertentu.
Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Tanin diartikan sebagai kumpulan senyawa organik
amorf yg bersifat asam dengan rasa sepat, ditemukan dalam banyak tumbuhan,
digunakan sebagai bahan penyamak, bahan pembuat tinta, dan bahan pewarna. Dan
Lignin adalah bahan polimer tidak berbentuk yang bersama-sama dijumpai di
antara sel dan dinding sel tumbuhan, berfungsi sebagai pembentuk kayu. Ketika
kayu mangrove terkenal sebagai sumber tanin pada industri kulit kayu. Kulit
kayu pada batang pohon mangrove mengandung tanin sebanyak 20-30% dari berat
kering (Damanik et al, 1987).
Dalam
penggunaan mangrove sebagai pewarna alami sendiri digunakan bagian komponen
mangrovenya yaitu propagul. Propagul merupakan buah mangrove yang telah mengalami
perkecambahan dan termasuk ke dalam tipe buah mangrove Vivipari, yaitu biji
yang telah berkecambah ketika masih melekat pada pohon induknya dan kecambah
telah keluar dari buah, seperti yang terjadi pada Famili Rhizophoraceae. Warna yang dapat dihasilkan dari propagul
Rhizophora ini adalah coklat.
Dalam
proses pewarnaan batik mangrove kurang lebih sama dengan proses pewarnaan batik
pada umumnya, yaitu :
Langkah
pertama yaitu propagul dijemur di bawah terik sinar matahari selama kurang
lebih seminggu untuk mendapatkan bahan pewarna yang kering. Selanjutnya,
propagul tersebut direbus selama kurang lebih 4 jam di dalam air mendidih
dengan komposisi kurang lebih 2 kg propagul dan buah dalam 4 liter air. Hal
tersebut dilakukan agar pigmen-pigmen warna yang terkandung dalam propagul bisa
keluar dengan maksimal. Setelah air rebusan berubah warna maka selanjutnya bisa
dilakukan penyaringan dan air rebusan bisa langsung dituang ke dalam tempat
pencelupan warna. Tunggu hingga air rebusan tersebut dingin, baru kain yang
telah diberi motif oleh malam dicelupkan secara perlahan-lahan ke tempat
pencelupan warna. Pengulangan pencelupan bisa bervariasi tergantung dengan
kecerahan warna yang diinginkan. Selanjutnya bisa dilakukan fiksasi warna dan
plorotan untuk selanjutnya dijemur sebagai langkah terakhir.
Dalam
penggunaan mangrove sebagai pewarna alam batik memiliki beberapa keunggulan dan
kelebihan dibanding dengan pewarna kimiawi/sintetik, diantaranya:
Poin
pertama yaitu lebih ramah lingkungan karena limbah yang dihasilkan tidak akan
merusak lingkungan darat maupun lingkungan laut. Sehingga dalam proses penguraiannyapun
akan lebih mudah. Jumlah zat pencemaran yang terdapat di dalam air limbah akan
mempengaruhi kadar oksigen yang terlarut di dalam air limbah. Dengan demikian
akan mempengaruhi kehidupan di dalam air yang membutuhkan oksigen. Sehingga
dengan digunakannya pewarna alami batik ini tetap menjaga kelestarian
ekosistem.
Poin
kedua yaitu, Zero Cost. Propagul yang digunakan didapat langsung dari alam
dengan mengambil propagul yang sudah jatuh. Sehingga untuk mendapatkan bahannya
tidak dibutuhkan biaya sama sekali karena prinsip yang digunakan adalah mendaur
ulang “limbah” organik.
Poin
ketiga yaitu aman bagi tubuh karena tidak menimbulkan gatal-gatal serta bercak
di tangan pada saat proses pencelupan warna.
Poin
keempat yaitu perkembangan sumberdaya manusia terutama masyarakat
pesisir/nelayan yang terbukti mampu menggerakkan roda perekonomian masyarakat
sehingga mandiri dan sejahtera. Hal ini terbukti dari beberapa pengrajin batik
mangrove yang ada di Indonesia, seperti Surabaya dan Semarang.
Poin
kelima yaitu mampu dijadikan sektor industri/bisnis yang sesuai dengan konsep
Blue Economy dimana manfaatnya bisa langsung dirasakan oleh masyarakat.
Dan
poin terakhir sekaligus yang menjadi poin terpenting adalah pewarna batik
mangrove mampu menghasilkan warna yang berkualitas tinggi dengan warna yang
indah dan tidak mudah luntur. Selain itu, batik dengan pewarna alami dibuat
secara spesifik atau bersifat khusus sehingga bisa lebih eksklusif.
Setelah mengetahui poin-poin penting
diatas, lalu apa yang dapat kita lakukan untuk menjaga ekosistem mangrove? Tentu
saja dengan tetap menjaga dan melestarikan keberlangsungan ekosistem mangrove
dengan cara penanaman dan penyulaman mangrove. Hal tersebut dilakukan utuk
menjaga keberlangsungan sumberdaya alam yang terbatas.
Tidak hanya itu, ekosistem mangrove
pun memiliki kaitan dengan ekosistem lainnya seperti lamun dan terumbu karang.
Mangrove, lamun, dan terumbu karang merupakan tiga komponen penting penyusun ekosistem
pesisir. Menurut Kaswadji (2001), tidak selalu ketiga ekosistem tersebut
dijumpai, namun demikian apabila ketiganya dijumpai maka terdapat keterkaitan
antara ketiganya. Dimana setiap ekosistem mempunyai fungsi masing-masing.
Ekosistem mangrove merupakan penghasil
detritus, unsur hara dan bahan organik yang dibawa ke ekosistem padang lamun
oleh arus laut. Sedangkan ekosistem lamun berfungsi sebagai penghasil bahan
organik dan unsur hara yang akan dibawa ke ekosistem terumbu karang. Selain
itu, ekosistem lamun juga berfungsi sebagai penjebak sedimen (sedimen trap)
sehingga sedimen tersebut tidak mengganggu kehidupan terumbu karang.
Selanjutnya ekosistem terumbu karang dapat berfungsi sebagai pelindung pantai
dari hempasan ombak (gelombang) dan arus laut. Ekosistem mangrove juga berperan
sebagai habitat (tempat tinggal), tempat mencari makan (feeding ground),
tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground), tempat pemijahan (spawning
ground) bagi organisme yang hidup di padang lamun ataupun terumbu karang.
Disamping hal-hal tersebut di atas, ketiga ekosistem tersebut juga menjadi
tempat migrasi organisme-organisme perairan, dari hutan mangrove ke padang
lamun kemudian ke terumbu karang atau sebaliknya (Kaswadji, 2001).
Hutan mangrove dan padang lamun sangat
berperan dalam perkembangan biota. Diketahui bahwa ekosistem terumbu karang
dihuni oleh lebih dari 93.000 spesies, bahkan diperkirakan lebih dari
satu juta spesies mendiami ekosistem ini. Ekosistem terumbu karang yang sangat
kaya akan plasma nutfah ini, kendati tampak sangat kokoh dan kuat, namun
ternyata sangat rentan terhadap perubahan lingkungan.
Ekosistem terumbu karang sangat
dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan laut seperti tingkat kejernihan air,
arus, salinitas dan suhu. Tingkat kejernihan air dipengaruhi oleh partikel
tersuspensi antara lain akibat dari pelumpuran dan ini akan berpengaruh
terhadap jumlah cahaya yang masuk ke dalam laut, sementara cahaya sangat
diperlukan oleh zooxanthella yang fotosintetik dan hidup di dalam jaringan
tubuh binatang pembentuk terumbu karang.
Di
samping peranannya yang penting, ekosistem terumbu karang Indonesia
dipercaya sedang mengalami tekanan berat dari kegiatan penangkapan ikan dengan
mempergunakan racun dan bahan peledak. Selain itu penangkapan berlebihan sedimentasi
dan pencemaran juga merupakan ancaman yang tak kalah beratnya.
Melihat
definisi diatas maka mau tidak mau pewarna yang digunakan dalam membatik pun
turut berperan dalam kelestarian dan kesehatan laut khususnya terumbu karang.
Terlebih diantara enam negara yang menjadi bagian dari pusat penyelamatan
terumbu karang dunia atau Coral Triangle Initiative, Indonesia adalah negara
yang memiliki keanekaragaman dan luasan tertinggi.
Dengan
menjaga salah satu ekosistem laut tersebut berarti kita juga telah menjaga
ekosistem laut lainnya. Dan inilah salah satu cara yang bisa dilakukan untuk
mengkonservasi tumbuhan mangrove sekaligus menambah nilai positif dari mangrove
itu sendiri.
Gw inget banget nih, yang menangin kompetisi ini adalah seorang mahasiswi dari University of Phillipines, jadi lomba ini ya ga untuk mahasiswa Indonesia saja, tapi bagi negara-negara yang tergabung dalam negara segitiga karang dunia, termasuk Filipin diantaranya.
Tapi gw bangga sih bisa ikut berpartisipasi meskipun ga menang, ya setidaknya gw sudah mencoba untuk berkontribusi dan memberikan solusi gitu buat mendukung konsep Blue Economy, hohoho #pembelaan :p
Naaah, terus gw dapet ini deeeeh
Jadi sebenarnya kompetisi ini mengharuskan gw untuk mengirim essay dalam Bahasa Inggris, jadi berusahalah gw untuk mentranslatenya, dan hasilnya masih gw rahasiakan. Hanya panitia acara dan Tuhan yang tau, huehehe :p
Tapi terima kasih yaaa, semoga ini semakin memotivasi gw untuk belajar menulis lebih baik dan lebih baik lagi. Cheers! :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar